Oleh: Ace Somantri*
BANDUNGMU.COM — Dalam beberapa tahun terakhir, bangsa Indonesia terus menghadapi masalah kebutuhan pokok, yang bahkan karena strategisnya, selalu menjadi bahan permainan politik nasional. Dari isu harga sembako, muncul kritik sosial yang mengusung tema “turunkan harga bahan pokok.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Padahal, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara agraris terbesar di dunia dengan tanah yang subur dan kaya. Iklimnya yang bersahabat juga membuat banyak orang di berbagai belahan dunia mendambakan tinggal di negeri ini di bawah naungan Ibu Pertiwi.
Hamparan petak sawah yang membentang luas sejauh mata memandang, saat musim tanam tiba, berwarna hijau laksana permadani yang terbentang indah. Ketika warna hijau berubah menjadi kuning menjelang panen, senyum para petani mengisyaratkan kebahagiaan.
Namun, tanpa disadari, datangnya era industrialisasi menyerang tanpa peringatan. Lahan-lahan pertanian habis dibabat oleh buldozer, sang mesin penghancur, yang meratakan sawah-sawah tersebut hingga tak bersisa.
Yang tersisa hanyalah tanah datar yang siap dibangun menjadi industri-industri raksasa. Para petani tersenyum saat menerima uang jutaan hingga miliaran rupiah. Namun, tidak lama kemudian, senyum itu berganti dengan tangisan, menyadari bahwa tanah yang hilang tidak akan pernah kembali seperti semula.
Udara segar yang kaya oksigen membawa kesehatan bagi manusia, membuat tubuh terasa bugar. Begitu juga dengan makhluk hidup lainnya, riang gembira menikmati alam sambil bersahutan dengan kicauan burung dan suara merdu hewan liar.
Namun, segalanya berubah ketika udara bersih tergantikan oleh asap pekat hasil pembakaran industri. Udara kotor ini mematikan ekosistem, membuat banyak hewan darat dan udara mati karena habitatnya rusak.
Manusia pun terkena dampaknya, kehilangan tempat penyimpanan bahan pangan pokok yang semakin terancam. Lebih buruk lagi, polusi udara yang terus meningkat menjadi polutan mematikan yang menggerogoti kesehatan perlahan tanpa kompromi, merusak sumber pangan kita hingga tak tersisa.
Ada harapan baru yang semoga tak hanya menjadi janji, tetapi diwujudkan melalui komitmen nyata. Di periode kepemimpinan bangsa saat ini, kedaulatan pangan ditempatkan sebagai prioritas utama, dengan program swasembada pangan menjadi agenda penting.
Langkah ini sangat tepat, mengingat konflik di beberapa negara telah memicu kelaparan yang meluas dan sulit dielakkan. Oleh karena itu, keputusan Indonesia untuk memprioritaskan kedaulatan pangan sangatlah strategis. Pasalnya keberhasilan program ini berpotensi mengubah lanskap kekuatan global dan memperkuat posisi Indonesia dalam peta geopolitik dunia.
Keyakinan tinggi bahwa seorang pemimpin bangsa berlatar belakang militer memiliki kecerdasan dan strategi yang matang. Selain mempersiapkan kekuatan persenjataan, ia juga menyusun kekuatan “persenjataan lunak” berupa kedaulatan pangan.
Jika program swasembada pangan dikelola dengan serius dan memberikan hasil signifikan, hal ini berpotensi mengubah peta kekuatan global. Indonesia pun diprediksi dapat menjadi salah satu negara maju dalam beberapa dekade ke depan. Asalkan pendekatan terhadap kedaulatan pangan dan modernisasi alutsista dilakukan secara konsisten dan dinamis.
Indonesia memiliki potensi besar untuk mencapai swasembada pangan, dengan banyaknya jenis tanaman yang dapat dijadikan sumber pangan berkelanjutan. Selain padi, terdapat berbagai tanaman lain yang bernilai strategis sebagai bahan pangan pokok, seperti sorgum.
Tanaman ini memiliki potensi luar biasa jika dikembangkan secara serius dengan dukungan penuh dari pemerintah dan berbagai pihak terkait. Berdasarkan data, Amerika Serikat menjadi pemain utama dalam produksi sorgum di kancah pangan dunia, dengan produksi pada tahun 2023 hingga 2024 mencapai 8,07 juta metrik ton. Namun, Indonesia sebagai negara agraris masih belum masuk dalam jajaran produsen utama sorgum di dunia.
Selain sorgum, masih banyak jenis tanaman lain yang berpotensi besar dalam persaingan pangan global, seperti singkong, ubi jalar, kentang, dan berbagai jenis umbi-umbian lainnya. Ratusan hingga jutaan hektar lahan subur di Indonesia masih belum dimanfaatkan secara optimal. Harapan besar tertuju pada pemerintah saat ini untuk memprioritaskan agenda swasembada pangan.
Kolaborasi antarkementerian sangat diperlukan, dan ego sektoral harus dihilangkan; jika masih ada hambatan ini, pergantian menteri sepatutnya dilakukan. Pencapaian swasembada pangan akan mendorong kesejahteraan rakyat dan, pada akhirnya, membawa Indonesia menuju kedaulatan pangan. Dengan lahan yang subur, bukanlah hal mustahil bagi bangsa ini menjadi pusat pangan dunia di masa depan.
Rasa minder harus dihilangkan, dan optimisme perlu terus ditumbuhkan untuk membangun kepercayaan diri dalam berinovasi serta mengembangkan ilmu pengetahuan. Paradigma pendidikan, khususnya di tingkat perguruan tinggi, kini semakin berfokus pada pengembangan berbagai disiplin ilmu dengan menciptakan produk-produk yang dirancang sesuai kebutuhan masa kini dan masa depan.
Riset ilmiah harus dikembangkan dalam ekosistem yang sehat, dengan tujuan menghasilkan karya yang bermanfaat bagi masyarakat. Riset bukan sekadar menjadi riset portofolio untuk memenuhi dokumen administrasi karier semata.
Swasembada pangan tidak seharusnya dipahami sebagai penyediaan pangan secara praktis dan pragmatis, melainkan perlu dibangun dengan fondasi yang kuat dan berkelanjutan. Pada masa Orde Baru, pernah dilakukan upaya swasembada pangan dengan meningkatkan hasil panen padi melalui pemupukan instan. Dalam jangka pendek, ini berhasil meningkatkan jumlah panen dan memungkinkan lebih banyak musim tanam dalam setahun.
Namun, tanpa disadari, metode tersebut menimbulkan masalah dalam jangka panjang, terutama bagi kesuburan tanah. Seiring waktu, kualitas tanah semakin menurun, sehingga petani terpaksa menggunakan pupuk kimia sintetis dan pestisida yang berdampak buruk bagi ekosistem dan kesehatan manusia.
Praktik tersebut masih umum dilakukan oleh para petani hingga saat ini. Padahal, kualitas pangan seharusnya sejalan dengan kuantitas pangan, asalkan dirumuskan dengan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ramah lingkungan. Namun, sering muncul alasan klasik bahwa keberlanjutan dan stabilitas teknologi ramah lingkungan dianggap tidak konsisten oleh para pengguna.
Kebenaran klaim ini perlu diuji secara objektif, bukan hanya berdasarkan perasaan subjektif. Dengan keyakinan penuh, jika swasembada pangan dijadikan program prioritas oleh pemerintah, hal ini akan terwujud melalui keterlibatan semakin banyak pakar dan ahli di berbagai bidang. Misalnya teknologi pertanian, pupuk, rekayasa lahan, dan teknologi lainnya yang mendukung peningkatan kualitas dan kuantitas produksi pangan.
Saat ini dan di masa depan, isu global yang paling menonjol pasti akan didominasi oleh masalah energi dan pangan. Meskipun isu-isu lain mungkin muncul, pada dasarnya, hal tersebut sering kali merupakan dampak dari gejolak yang terjadi dalam sektor energi dan pangan. Oleh karena itu, sangat wajar dan rasional jika Prabowo memprioritaskan swasembada pangan, karena kedaulatan pangan merupakan salah satu aspek penting dari kemerdekaan sebuah bangsa.
Namun, muncul pertanyaan mengapa tidak juga meng-upgrade sektor energi? Mungkin saja, mengejar kedaulatan energi saat ini belum realistis mengingat keterbatasan sumber daya manusia dan tantangan politik global. Sebaliknya, peningkatan swasembada pangan lebih dapat dicapai dan lebih ekonomis. Wallahu’alam.
*Dosen UM Bandung dan Wakil Ketua PWM Jabar