IBTimes.ID, Cirebon, (16/10) – INFID berkolaborasi dengan KUPI, dan Fahmina Institute memfasilitasi pertemuan antara 11 Ulama perempuan dari 4 negara Asia melalui kegiatan yang bertema “Penguatan Perspektif dan Peran Ulama Perempuan dalam Pemajuan Kesetaraan Gender dan Inklusi Sosial di Afghanistan, Filipina, Malaysia, Thailand, dan Pakistan”.
Kegiatan ini dirancang sebagai ruang pertukaran pengalaman dan pengetahuan serta perluasan jaringan dalam rangka pemajuan kesetaraan gender dan inklusi sosial dalam konteks keagamaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Salah satu fokus utama kegiatan ini adalah bagaimana para Ulama Perempuan mampu menggunakan argumen keagamaan untuk mempromosikan keadilan gender sekalipun mereka berada di negara yang pada umumnya masih didominasi oleh budaya patriarki.
Bagaimanapun peran penting para tokoh ulama perempuan muslim ini cukup relevan dan strategis dalam mendukung gerakan kesetaraan gender dan keadilan sosial, dan membawa perubahan budaya. Dengan pendekatan ini, faktor budaya, sosial, termasuk penafsiran agama yang seringkali menghambat pemenuhan hak-hak perempuan dapat diatasi.
Peran Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia, tentu sangat menentukan masa depan kesetaraan gender dan inklusi sosial dengan keberagaman agama dan budayanya. Gerakan moderasi agama, kesetaraan gender dan inklusi sosial yang diusung oleh ulama perempuan dalam konteks Islam, salah satunya adalah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), sangat relevan untuk gerakan ke depan.
Dengan perspektif yang sama, sebuah workshop memberikan ruang kepada para peserta memperdalam pemahaman dan berbagi pandangan serta pengalaman tentang kesetaraan gender dan inklusi sosial melalui lima materi yang saling terkait yakni Jati Diri Manusia dan Misi Dasar Islam, Konsep Ma’ruf dan Keadilan Hakiki Perempuan, Konsep Mubadalah, Sumber-sumber Islam dalam Fatwa KUPI, dan Konstitusi dan Perundang-undangan sebagai Rujukan Fatwa KUPI.
Selain itu, peserta juga mengunjungi dan berdialog dengan akademisi serta mahasiswa dari ISIF Cirebon, UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, dan para santri di Pesantren Kebon Jambu Al Islamy Babakan Ciwaringin Cirebon yang menjadi tempat digelarnya KUPI pertama.
***
“Diharapkan para tokoh dan ulama perempuan dari Pakistan, Filipina, Thailand dan Malaysia dapat melanjutkan apa yang sudah didapatkan dalam kunjungan ini dan dapat meningkatkan kepercayaan diri mereka sebagai ulama perempuan untuk mendorong baik pemajuan HAM, hak perempuan dan juga keadilan gender serta inklusi sosial di negaranya, baik secara program maupun kebijakan yang bermanfaat untuk komunitas masing-masing,” (Sanita Rini, Program Officer for Preventing Violent Extremism INFID)
“Kami sudah lama mendengar KUPI. Lebih meyakinkan lagi ketika kami berdiskusi dan mendengarkan pemaparan bagaimana gerakan dan metodologi Fatwa KUPI. Tentu pengalaman ini sangat penting sebagai bekal gerakan kami kedepan. Dengan memperkuat dan mendorong perempuan untuk terus memperjuangkan kesetaraan gender. Karena sampai hari ini, masih ada perilaku tidak adil dan memposisikan perempuan sebagai subordinat di tengah masyarakat. Gerakan kesetaraan ini akan kami diteruskan di komunitas kami. Dengan meneguhkan dan memperjuangkan hak-hak perempuan melalui kontekstualisasi tafsir al-Quran”. (Yasmin Busran-Lao, Founding Chairperson, Nisa Ul-Haqq Fi Bangsamoro, Filipina)
“Saya sangat tertarik karena baru tahu ada kongres ulama perempuan indonesia (KUPI) dan tertarik. Harapnya bisa membawa nilai atau ajaran tentang hak perempuan terutama isu perkawinan anak. Nilai ini bisa saya bawa dan diketahui orang-orang di Thailand.” (Thanarin, Aktivis Muslim Thailand).
“Kegiatan ini semakin menguatkan gerakan yang selama ini dilakukan KUPI. Disamping itu, kegiatan ini juga memperkaya KUPI dengan menangkap inside dari para peserta. Terkait metodologi Fatwa KUPI seperti ma’ruf itu sangat penting untuk kita sampaikan secara luas dengan contoh praktis di lapangan. Kita juga penting mendapatkan contoh praktis dari berbagai negara, bagaimana mempraktikkan dalam perjuangannya dan rekognisi ulama perempuan. Berikutnya adalah bagaimana kita melakukan konsolidasi dan kaderisasi ulama perempuan dengan lima ranah khidmat dan lima ranah juang yaitu; perguruan tinggi, pesantren, majelis taklim, komunitas dan anak muda. Sementar ranah juangnya adalah keluarga, negara, komunitas, gerakan dan alam semesta.” (Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Ketua Majelis Musyawarah KUPI).
***
“Di Forum ini tidak hanya KUPI yang memberikan pembelajaran kepada mereka, namun kami juga belajar terkait apa yang mungkin bisa dihadapi dari tantangan kultural, organisasi dan politik. Pengalaman teman teman KUPI mendekati sumber keislaman dan konstitusi bisa di dialihkan, dishare dari berbagai pihak. Diantaranya konsep ma’ruf sesuatu yang baik yang memperkuat modal masing-masing, mulai dikerjakan pada perubahan sosial yang adil. Kita mengenalkan hal yang baik ini kita ajak laki-laki dan perempuan sebagai subjek reformasi dan menerima dampak keadilan itu. Kemudian bagaimana kita mendasarkan ma’ruf dan mubadalah pada keadilan hakiki perempuan.” (Dr. KH. Faqihuddin Abdul Kodir, Pendiri Fahmina Institute, Anggota Majelis Musyawarah KUPI).
“Kami merasa bangga, karena apa yang kami upayakan selama ini membuahkan hasil. Kerja-kerja penguatan perempuan dan kampanye kesetaraan gender, mendapat respon dari ulama dan aktivis perempuan dari berbagai negara seperti Pakistan, Thailand, Filipina dan Malaysia. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan demokrasi di Indonesia terutama terkait gerakan perempuan dipandang lebih baik. Sebab disini, perempuan memiliki ruang dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Dibeberapa kepengurusan ormas keagamaan, perempuan juga menempati posisi serta hak suara yang sama dengan laki laki. Bahkan pemikiran beberapa ulama perempuan Indonesia, menjadi rujukan dalam kehidupan keagamaan masyarakat Indonesia. Antusiasme peserta dalam mengikuti kegiatan workshop; dengan mendengarkan dan mendiskusikan secara seksama bagaimana metodologi KUPI digunakan, seolah menjadi energi baru bagi mereka dalam melanjutkan gerakan kesetaraan gender perspektif Islam di negaranya.” (Marzuki Rais, Direktur Fahmina Institute).
Dari kegiatan ini, para Ulama Perempuan dari empat negara tersebut juga menyepakati dua rencana aksi bersama. Pertama, memperkuat jejaring tokoh dan ulama perempuan untuk advokasi pemajuan gender dan inklusi sosial, melalui seminar, penelitian, dan workshop. Kedua, memperkuat solidaritas dengan melibatkan tokoh dan ulama perempuan dari Afghanistan dalam konteks pemajuan hak perempuan dan inklusi sosial melalui berbagai mekanisme pertemuan, termasuk workshop daring.