Oleh: Ace Somantri
BANDUNGMU.COM – Melihat ke belakang, mata memandang jauh ke masa yang telah berlalu begitu cepat.
Jejak amal saleh masih tergambar di benak, tetapi jauh dari kesempurnaan.
Yang teringat hanya dosa, yang sering kali terlupakan dan tak terasa. Waktu berlalu tanpa keberartian, tanpa tindakan berarti atau karya yang bernilai.
Tangan yang diberi lengkap oleh jari-jari, hanya diungkapkan dengan kata-kata. Namun, perilaku dan tindakan tidak selalu mencerminkan rasa syukur.
Ruang dan waktu begitu luas, tanpa batasan volume, namun sering kali kita membatasi diri, malas, dan tidak sadar.
Rukuk dan sujud di atas sajadah terasa sekedar rutinitas, bukan sebagai kewajiban yang tulus untuk Allah.
Mengklaim mendapat hidayah, rahmah, magfirah, dan keberkahan tanpa mempertimbangkan amal perbuatan dan pertanggungjawaban, adakah itu pantas?
Setiap individu melakukan sesuatu bukan semata-mata karena Allah, melainkan seringkali didasari oleh materi.
Menyambut bulan suci Ramadhan, umat Muslim di seluruh dunia dengan penuh sukacita.
Namun, konon ada makhluk yang terbelenggu oleh Sang Pencipta karena kemuliaan bulan Ramadhan.
Siapa pun, dari mana pun asalnya, yang mengakui Allah dan Rasulullah Muhammad SAW sebagai utusan-Nya, pasti menyambut Ramadhan dengan kebahagiaan.
Ini adalah anugerah dari Pemilik Alam Semesta kepada hamba-Nya yang bersyukur, beriman, dan bertakwa.
Kebahagiaan dunia adalah nikmat yang diberikan kepada setiap makhluk, tanpa memandang suku, ras, atau agama, kecuali kebahagiaan di akhirat.
Mizan dan hisab berlaku tanpa rekayasa, semua dikembalikan kepada mereka yang mengikuti tauhid tanpa mengharap pahala atau surga.
Ramadhan tiba, membuka pintu kebahagiaan. Cahaya bulan suci ini selalu menyinari hati manusia. Namun, hanya manusia yang dapat memadamkan cahayanya dengan tidak tunduk kepada Ilahi.
Bagaimana kita meraih kebahagiaan dunia, dengan tubuh yang sehat dan lengkap, diberi sandang mewah dan penuh gizi?
Namun, saat matahari tenggelam dan malam tiba, ketika hujan dan angin mengguncang, rumah yang megah menjadi tempat berlindung.
Perjalanan dari rumah dengan transportasi mewah mencerminkan kemewahan jiwa dan raga.
Ramadhan membawa kebahagiaan yang terasa lepas, berbeda dari bulan-bulan lainnya.
Anak-anak yang antusias menyambut Ramadhan meski harus berpuasa, mengubah pola makan dan minum dengan penuh semangat.
Mereka bertahan dari haus dan lapar sepanjang siang, mengubah kebiasaan dengan kesadaran yang baik.
Setiap tahun bagi umat Islam adalah perjalanan spiritual. Saum Ramadhan, ibadah wajib, mengajarkan kebahagiaan yang tidak hanya terbatas pada dimensi jasadiah, melainkan juga pada dimensi ruhaniah yang lebih bermakna.
Ramadhan bukan hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan hawa nafsu dan perbuatan buruk.
Menjadi muslim dan mukmin yang sejati bukanlah hal yang mudah, nilai-nilai spiritual masih bersifat simbolik.
Bulan suci Ramadhan, berabad-abad telah menjadi ruang dan waktu penuh hikmah, berkah, dan rahmah.
Ajaran Islam sebagai pedoman hidup memberikan keselamatan dunia dan akhirat bagi mereka yang mengikutinya. Namun, perjalanan hidup tidak selalu mudah.
Bulan suci Ramadhan memberikan kesempatan untuk menyucikan diri dari keburukan.
Kebaikan Allah memberikan peluang kepada manusia untuk bertaubat. Ramadhan membuka kesadaran akan noda-noda keburukan dalam diri.
Kebahagiaan dalam Ramadhan tidak hanya terletak pada nikmat fisik, tetapi juga pada kesadaran akan tanggung jawab sebagai manusia terhadap Sang Pencipta. Ramadhan menjadi wadah untuk membersihkan diri dari dosa dan kesalahan.
Namun, kebahagiaan dalam Ramadhan juga dapat menjadi ujian. Menahan godaan hawa nafsu dan keburukan merupakan tantangan.
Jika gagal, dapat menimbulkan beban berat seperti rasa gelisah, kebencian terhadap kebaikan, merasa paling benar, dan pandangan bahwa segala sesuatu dapat dibeli dengan cara apa pun.
Marhaban ya Ramadhan. Di bulan penuh rahmat dan berkah ini, semoga doa kita dikabulkan untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Amin. Wallahu’alam.***