Beberapa tahun terakhir, program atau kegiatan menghafal (tahfidz) Al-Qur’an menjadi fenomena yang terkesan baru hingga menjadi trend di tengah masyarakat Islam Indonesia. Pesantren tahfidz, rumah tahfidz, dauroh (pelatihan) tahfidz, program tahfidz, hingga beasiswa bagi penghafal (hafidz) Al-Qur’an cukup banyak dan berkembang di berbagai tempat di tanah air.
Memang salah satu metode mempelajari Al-Qur’an yang efektif adalah dengan menghafalnya. Akan tetapi, beberapa pihak yang sebagian di antaranya adalah para akademisi dan pakar pendidikan memandang bahwa kegiatan memahami Al-Qur’an lebih diperlukan dalam konteks keindonesiaan. Lalu bagaimana memandang keduanya ?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Memang terdapat banyak dalil dalam Al-Quran maupun As-Sunnah yang menunjukkan keutamaan menghafal Al-Qur’an, baik yang didapat di dunia maupun di akhirat. Di sisi lain dalam perspektif neurosains, kegiatan menghafal Al-Qur’an dan mengulang hafalannya (muroja’ah) juga merangsang proses mielinisasi.
Mielinisasi adalah proses pembentukan mielin sebagai selubung dalam syaraf otak manusia yang berfungsi sebagai penghantar impuls (rangsangan) dalam otak yang bertugas mempercepat arus informasi di otak. Sehingga menjadikan informasi lebih mudah dimunculkan, sehingga menjadikan seseorang lebih cerdas dan memiliki memori kuat.
Akan tetapi menghafal Al-Qur’an tanpa memahami ayat-ayatnya secara terjemah juga dinilai kurang memberikan manfaat, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Karena dalam konteks di Indonesia, memahami Al-Qur’an dinilai lebih dibutuhkan dan lebih diperlukan. Itu disebabkan karena perbedaan bahasa dan latar belakang kondisi sosial masyarakat.
Memahami Al-Qur’an dengan terjemah tekstual juga sering menimbulkan pemaknaan yang keliru, begitu juga prakteknya. Sehingga untuk memperdalam pemahaman Al-Qur’an tersebut dibutuhkan pengkajian lain yang lebih mendalam. Baik itu tafsir, tadabbur, dan tentu saja dikaitkan dengan ilmu pengetahuan lainnya, termasuk di luar lingkup pengetahuan agama Islam. Sehingga mengkaji Al-Qur’an tidak hanya memberikan informasi tentangnya dan peningkatan spiritual seseorang saja, tetapi juga menghadirkan inspirasi untuk kemajuan umat Islam.
Di sisi lain, Al-Qur’an harus dipahami dan dikaji secara utuh. Karena ayat-ayat Al-Qur’an memiliki keterhubungan dan menafsirkan satu sama lain. Maka untuk menghadirkan pemahaman yang lebih sempurna, ayat-ayat Al-Qur’an memang perlu untuk dihafalkan dan setidaknya diingat dengan baik.
Solusi
Pada dasarnya, antara kegiatan menghafal atau memahami keduanya tidak bertentangan dan saling melengkapi serta saling mendukung satu sama lain. Keduanya sama-sama merupakan interaksi umat Islam kepada Al-Qur’an yang bisa dilakukan oleh umat Islam selain membacanya.
Akan tetapi dalam konteks kebutuhan umat Islam di Indonesia, pemahaman Al-Qur’an yang baik lebih dibutuhkan dalam menjelaskan Islam kepada semua orang dan tentunya agar umat Islam sendiri tidak sekedar membacanya, melainkan juga mengamalkannya dalam keseharian sebagaimana yang dilakukan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan yang tampak dalam Teologi Al-Ashr dan Teologi Al-Ma’un.
Menghafal Al-Qur’an mungkin perlu, akan tetapi tidak kemudian menjadi kewajiban yang harus diamalkan seluruh umat Islam karena kondisi masing-masing juga tidak menuntut semua orang menghafalkan 30 juz secara utuh. Tentunya dengan tidak meninggalkan kegiatan memahami Al-Qur’an agar dalam pengamalannya juga sesuai dengan pemahaman yang benar dan kontekstual. (Muhammad Utama Al Faruqi)
Sumber berita ini dari girimu.com