kabargresik.com – Musim hujan yang datang lebih awal ditahun ini, lebih dikenal oleh masyarakat sebagai musim kemarau basah. Datangnya musim hujan tahun ini membawa dampak kerugian bagi petani semangka yang ada di desa Dalegan Panceng Gresik. Curah hujan tinggi menyebabkan banjir pada persawahan yang ditanami semangka. Sehingga banyak semangka yang mengalami kebusukan dan gagal dipanen.
Harga jual semangka yang biasanya mencapai Rp.6000/kilo, saat ini dijual dengan harga yang murah yakni Rp.2000/kilo. Selain anjloknya harga penjualan, petani juga merasa dirugikan karena banyaknya buah yang busuk. Meskipun hasil panen mengalami penurunan, namun petani yang ada desa di Dalegan sudah merasa hal seperti ini sudah biasa terjadi. Salah satunya adalah H. Suwono (55) yang sudah mengalami kejadian ini setiap tahunnya. Dampak hujan memang dirasakan oleh Suwono karena banyak semangka yang busuk, namun meskipun begitu ia merasa semangka kali ini memang sudah saatnya panen. “Biasanya umur semangka itu memang 65 hari, dan ini sudah 63 hari. Jadi memang sudah waktunya panen”, Jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, H. Suwono menambahkan kalau tidak dipanen sekarang maka kerugian akan semakin besar karena buah yang busuk akan lebih banyak. “Setiap tahun kejadian ini pasti ada, namun sebagai petani kita sudah merasa terbiasa. Karena sudah menjadi resiko” terang Suwono, Rabu (12/10).
Menurut Farid (23), anak dari H. Suwono, pada saat musim panen biasanya ada tengkulak yang mengambil langsung semangka ke sawahnya. Namun musim ini mereka memanen dan menjual sendiri semangka hasil panennya. Saat musim kemarau biasanya hasil panen masih mendapatkan sekitar 5 juta rupiah, namun saat ini mendapat hasil 3 juta rupiah dirasa sudah tinggi. “Biasanya kalau kemarau ada tengkulak kesini, karena sekarang kondisi tanah yang becek jadi tidak ada mobil yang bisa masuk”.
Dikarenakan kondisi tanah yang tidak memungkinkan untuk masuk, maka para petani semangka ini harus membayar orang untuk mengambil semangka dari sawah ke jalan dengan menggunakan gerobak dorong. “Mulai dari panen sampai pengangkatan buah ke jalan ini sudah 3 hari tapi belum sesesai. Karena kita harus bolak balik dengan menggunakan gerobak kecil”, jelas Farid.
Meskipun hasil panen menurun karena kondisi buah yang busuk dan anjloknya harga jual, namun para petani ini masih merasa tidak ada kerugian yang signifikan. Karena bagi petani hasil panen memang tidak pernah berlebihan, asal cukup untuk kebutuhan sehari hari maka sudah dirasa cukup. Seperti penuturan Suwono sebelum mengakhiri pertemuan, “buat para petani, hasil tani yang sudah bisa digunakan untuk kebutuhan sehari hari dan bisa dibuat modal lagi untuk bertanam, itu sudah lebih dari cukup”. pungkasnya. (linda/mg2/k1)