BANDUNGMU.COM, Yogyakarta — Polemik seputar kehujahan hadis ahad dalam masalah akidah menjadi sorotan yang kompleks.
Dalam upaya memahami dinamika polemik ini, Wakil Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah Cecep Taufiqurrohman membagi pada dua kelompok.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kelompok pertama, yaitu Kaum Hasywiyyah. Mereka tampil sebagai penganut yang menerima kehujahan hadis ahad tanpa syarat, baik dalam urusan hukum maupun akidah.
Mereka meyakini sepenuhnya pada kekuatan hujah hadis ahad dan memandangnya sebagai sumber yang dapat dipercaya.
Kelompok kedua, yang menolak kehujahan hadis ahad dalam akidah, tetapi menerima dalam masalah hukum, terdiri atas Mu’tazilah dan beberapa ulama Asy’ariyah.
Mu’tazilah secara umum menolak hadis ahad dan menganggapnya tidak dapat diandalkan dalam persoalan akidah.
Beberapa ulama Asy’ariyah, seperti Al-Ghazali, Al-Bazdawi, dan Al-Asnawi, juga mengemukakan pandangan yang serupa, menetapkan ushul akidah hanya dari yang qath’i al-dilalah dan qath’i al-wurud.
Seiring berlanjutnya polemik mengenai kehujahan hadis ahad dalam persoalan akidah, muncul pertanyaan menarik yang diajukan oleh Cecep dalam acara Seminar Ketarjihan di Aula Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan pada Ahad (11/02/2024).
Ia mempertanyakan pandangan yang menyatakan bahwa urusan hukum dapat didasarkan kepada hadis ahad, sedangkan akidah tidak.
Pertanyaan krusial yang diajukannya adalah bagaimana menanggapi hadis ahad yang mencakup aspek hukum (fikih) sekaligus membawa unsur akidah.
Contoh konkret yang diberikan adalah hadis ahad Riwayat Muslim mengenai berta’awudz dari empat hal di bagian ujung ta’awudz.
Hadis ini tidak hanya berisi hukum fikih, tetapi juga mengandung ajaran akidah.
Hadis mengenai siksa kubur, yang memiliki implikasi langsung pada akidah, dan doa perlindungan terhadap siksa kubur, yang menjadi bagian penting dalam praktik fikih, keduanya bersumber dari hadis ahad.
Namun, munculnya pertanyaan logis pun menjadi tidak terelakkan ketika seseorang memutuskan untuk menolak hadis ahad dalam persoalan akidah.
Pertanyaan tersebut mengemuka: apakah kita hanya akan menerima hukum fikihnya saja, sementara penjelasan tentang akidah ditinggalkan begitu saja?
“Konsekuensi dari penolakan hadis ahad dalam persoalan akidah membawa kita pada pertimbangan yang mendalam,” ujar Wakil Dekan FAI UM Bandung yang akrab disapa Buya Cecep ini.
Menolak hadis ahad dalam konteks akidah menciptakan dilema yang kompleks.
“Kita dapat membaca doa perlindungan dalam salat, tetapi sejauh mana keimanan kita pada makna dan eksistensi siksa kubur?” katanya.
“Apakah kita dapat memilih secara selektif menerima aspek fikih dari hadis Ahad sementara meninggalkan aspek akidah yang terkait dengannya?” ujarnya.
“Dalam menjawab pertanyaan ini, para ulama menegaskan bahwa kita dapat mengambil ajaran akidah dari sebuah hadis ahad sebagaimana kita mengambil hukum fikih darinya,” imbuhnya.
Mereka menyoroti bahwa tidak ada pembatasan untuk hanya mengambil hukum tertentu dan menolak hukum akidah dari hadis ahad.
Pemikiran ini membuka jalan untuk memahami dan mengaplikasikan hadis ahad secara holistik, mempertimbangkan keseluruhan konteks dan pesan yang terkandung di dalamnya.
Oleh karena itu, penafsiran yang terlalu terpaku pada pemisahan antara hukum dan akidah dalam hadis ahad dinilai tidak mempertimbangkan kompleksitas dan integralitas ajaran yang ingin disampaikan.
Sebagai bagian dari diskusi luas mengenai hadis ahad, pemikiran ini mengajak umat Islam untuk lebih terbuka terhadap keragaman penafsiran dan memahami bahwa dalam hadis ahad, hukum dan akidah tidak selalu dapat dipisahkan dengan tegas.***