BANDUNGMU.COM, Bandung – Pakar Hukum Tata Negara dan dosen STHI Jentera Bivitri Susanti menyoroti masalah korupsi politik yang dianggap lebih rumit dibandingkan dengan korupsi kecil atau petty corruption—yang sama-sama harus diberantas. Dalam diskusinya, Bivitri menekankan bahwa pemberantasan korupsi politik tidak hanya menyentuh aspek teknis hukum, tetapi berdampak langsung pada kehidupan masyarakat sehari-hari.
“Korupsi politik itu lebih kompleks karena melibatkan partai politik dan berbagai institusi formal negara, seperti DPR, yudikatif, hingga pemerintah daerah,” ungkap Bivitri saat menjadi narasumber seminar dalam rangkaian acara Kinemaksi yang digelar Artside UM Bandung pada Selasa (23/10/2024).
Ia menyebutkan bahwa korupsi politik berakar dalam sistem kekuasaan dan membutuhkan gerakan sosial kolektif untuk dapat diberantas. Dirinya berharap ada aksi bersama-sama mendorong gerakan sosial untuk menghapus korupsi politik. Gerakan seperti ini, kata dia, implikasinya akan sangat positif bagi demokrasi Indonesia.
Menurutnya, korupsi kecil seperti sogokan untuk mendapatkan SIM atau “uang rokok” kepada aparat, misalnya, meski perlu diberantas, masih kalah rumit dibandingkan dengan korupsi politik yang menyentuh lingkup kekuasaan besar. Ia menegaskan pentingnya akuntabilitas bagi setiap individu dalam sistem politik dengan fokus pada prinsip anti-korupsi.
Iklim berpikir kritis
Bivitri juga menyoroti pentingnya menciptakan iklim yang mendorong masyarakat untuk berpikir kritis. “Sering kali orang yang kritis dicap negatif atau dianggap tidak kebagian jabatan,” katanya. Menurutnya, hal tersebut keliru karena kritik yang sehat diperlukan untuk memperbaiki sistem sebuah negara.
Lebih lanjut, Bivitri menekankan bahwa dalam melawan korupsi, masyarakat harus berpegang pada prinsip, bukan individu. “Kita sudah belajar banyak dalam sepuluh tahun terakhir, bahwa memuji individu tanpa memegang prinsip, hanya akan memperparah masalah dalam tata negara kita,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa pegangan masyarakat harus pada akuntabilitas, di mana setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya, baik secara hukum maupun politik. “Kita tidak boleh lagi menghamba pada orang karena hal itu hanya dilakukan kepada Tuhan. Tugas kita adalah melayani warga, bukan melayani negara,” tegas Bivitri.
Merampas hak warga
Bivitri pun mengajak para peserta seminar untuk memahami bahwa korupsi politik bukanlah masalah teknis hukum semata, melainkan persoalan yang mempengaruhi hak-hak dasar warga negara. “Korupsi merusak kehidupan kita sebagai warga. Hak kita atas udara yang bersih, misalnya, bisa terampas karena keputusan yang diambil berdasarkan kepentingan pribadi,” kata Bivitri, sambil menyinggung masalah polusi udara di Jakarta.
Ia mencontohkan bagaimana korupsi politik bisa menyebabkan kebijakan yang merugikan publik, seperti penggunaan batu bara berkualitas rendah dalam pembangkit listrik, karena adanya kepentingan pengusaha yang dekat dengan pejabat pemerintah. “Korupsi bukan hanya soal penjara atau selebritas yang terlibat, tetapi soal hak-hak kita yang dirampas oleh mereka yang tidak amanah dalam menjalankan kekuasaannya,” tegas Bivitri.
Bivitri menutup dengan ajakan agar masyarakat terus membangun pemikiran kritis dan menolak untuk diam dalam menghadapi ketidakadilan. “Korupsi harus kita bongkar dan itu dimulai dari keberanian untuk berpikir kritis dan menolak diam terhadap ketidakadilan,” tutupnya.
Tambahan informasi, event Kinemaksi berawal dari keluarnya nama UM Bandung sebagai pemenang proposal terpilih dari Kompetisi Screening Film Kategori Kampus dari ACFFEST KPK. UM Bandung bersama Institut Seni Yogyakarta, Unair, dan Undip berhasil meraih pendanaan untuk menggelar event screening film bertemakan anti-korupsi.
Acara ini digelar selama dua hari dengan konsep outdoor screening dan indoor screening, bertempat di Front Yard UM Bandung dan Auditorium KH Ahmad Dahlan. Bersama Art Sinematografi Deluxe (Artside), Kinemaksi berkonsep mirip seperti sebuah festival seni yang partisipatoris dan melibatkan berbagai kolaborasi dan pertemuan antar komunitas dan organisasi.***(FK/FA)