Manusia tidak akan pernah mampu menyentuh langit kecuali dengan hatinya. Nasehat bijak ini bermakna bahwa manusia akan merasakan bahwa hatinya benar-benar hidup dan seolah menyentuh langit ketika berdo’a dengan kesungguhan, seolah-olah dirinya mampu berkomunikasi langsung dengan Allah –subhanahu wa ta’ala-.
Kondisi seperti ini biasanya dirasakan seseorang ketika dirinya benar-benar pasrah, dan merasa bahwa dirinya memang bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa di hadapan Tuhan Penguasa Semesta. Sehingga dalam kondisi seperti ini seringkali seseorang berdo’a hingga menitikkan air mata. Lalu bagaimana menghadirkan hati saat berdo’a ?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pertama, Berwudhu
Berwudhu, membersihkan diri secara fisik menjadi permulaan untuk menghadirkan hati saat berdo’a. Di sisi lain, wudhu juga membuat kondisi badan menjadi lebih rileks dan tenang.
Kedua, Menentukan Tempat dan Waktu
Tempat yang bersih, tenang, dan yang agak jauh dari keramaian menjadi saran yang tepat, terlebih dengan menentukan waktu yang juga tepat seperti waktu-waktu terbaik untuk berdo’a. Seperti di masjid atau musholla, di sepertiga malam terakhir di bulan Ramadhan, atau di kamar tidur yang bersih dan rapi, di sepertiga malam atau sebelum tidur.
Ketiga, Niat dan Fokus
Memfokuskan pikiran untuk menyengaja berdo’a dengan memikirkan apa saja yang akan diadukan dalam do’a itu akan membantu dalam mengkondisikan diri. Karena jika tidak fokus ketika berdo’a, walaupun dari lisan banyak do’a yang dipanjatkan, tetapi pikiran kurang fokus dan justru memikirkan hal lain, menjadikan do’a itu kurang terasa.
Keempat, Memperbanyak Istighfar
Tidak ada manusia yang hatinya bersih dari dosa. Maka untuk menjadikan hati tenang, agar hati lebih bersih dan lebih siap untuk berdo’a, memperbanyak istighfar atau memohon ampun kepada Allah adalah hal yang perlu dilakukan.
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda: “Barang siapa rutin membaca istighfar, Allah akan memberikan solusi pada setiap kesulitannya, dan penyelesaian bagi setiap permasalahannya. Dan, Dia akan memberinya rezeki dari jalan yang tidak terduga.” (HR Abu Dawud, Nasa’I, Ibnu Majah, Hakim, dan Baihaqi).
Kelima, Mensyukuri Semua Nikmat
Seburuk apapun kondisi seseorang, Allah masih memberikan nikmat walaupun tampak dan terasa sedikit. Maka mensyukuri nikmat-nikmat itu, baik yang tampak atau tidak, dirasakan atau tidak menjadi perlu. Karena sadar dan ingat untuk berdo’a itu sendiri kenikmatan yang tidak semua orang mampu melakukannya.
Allah -subhanahu wa ta’ala– berfirman, “Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu berkata; ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (QS. Ibrahim: 7).
Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam– bersabda, “Doa yang paling utama adalah tahmid (mengucap Alhamdulillah)” (HR Ibnu Majah dari Jabir bin Abdullah)
Keenam, Bershalawat Sebelum dan Seusai Berdo’a
Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam– menjadi salah satu rukun berdo’a yang paling pokok. Baik sebelum maupun sesudah berdo’a. Baik dengan bacaan shalawat yang singkat, atau shalawat yang agak panjang seperti yang biasa dibaca ketika Tahiyyat Akhir dalam shalat.
Rasulullah -shallallahu ‘alayhi wa sallam– bersabda, “Sesungguhnya doa itu berhenti antara langit dan bumi, tiada akan naik sedikitpun sampai kemudian engkau bersholawat atas nabimu” (HR Tirmidzi)
Ketujuh, Berdo’a dengan Bahasa yang Dimampu
Allah Maha Mendengar dan Allah Maha Mengetahui, jika seseorang yang berdo’a kurang memahami do’a-do’a dalam bahasa Arab, maka tidak masalah jika berdo’a dengan bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Dengan cara itulah seseorang berdo’a dengan penuh kesadaan dan kehadiran hati.
Agar do’a terkabul, berprasangka baik dengan kuasa dan kehendak Allah menjadi satu hal terpenting. Dalam dua hadits qudsi disebutkan bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, bahwa Allah berfirman “Aku menurut prasangka hamba-Ku kepada-Ku…” dalam riwayat Bukhari dan Muslim. Sedangkan dalam riwayat Ahmad disebutkan, bahwa Allah berfirman, “Aku menurut prasangka hamba-Ku pada-Ku, jika dia berprasangka baik (kepada Allah), maka untuknya kebaikan itu, jika dia berprasangka buruk, maka untuknya keburukan itu”.
Sumber berita ini dari girimu.com