Oleh: I Putu Hendy Bimantara Dinata, Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN *)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada 25 September 2015, para pemimpinn dunia secara resmi mengesahkan Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau yang dikenal dengan Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs merupakan rencana aksi global yang akan dijalankan selama 15 tahun pada rentang tahun 2015 – 2030. SDGs memiliki 17 tujuan dan 165 target dengan mengusung tema ”Mengubah Dunia Kita: Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan”. SGDs berlaku secara universal untuk seluruh negara, sehingga seluruh negara termasuk negara maju dan berkembang memliki kewajiban untuk mewujudkan SDGs.
Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan suksesi dari rencana jangka panjang sebelumnya yaitu Millenium Development Goals (MDGs) yang dimulai pada tahun 2000 – 2015. Ruang lingkup tujuan dalam SDGs lebih luas dibandingkan tujuan yang terdapat pada MDGs. SDGs memiliki 4 pilar utama yang melingkupi 17 tujuan yang ada, yaitu: pilar pembangunan sosial, pilar pembangunan ekonomi, pilar pembangunan lingkungan, dan Pilar Hukum dan Tata Kelola. Melalui SDGs, seluruh negara berkomitmen untuk membebaskan umat manusia dari ancaman kelaparan serta menjaga keberlangsungan planet tempat tinggal kita semua.
Indonesia sebagai salah satu anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) juga turut serta dalam deklarasi SDGs pada tahun 2015. Dasar hukum pelaksanaan SDGs di Indonesia dituangkan pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Perpres 59 Tahun 2017 juga merupakan dasar hukum bagi pemerintah dalam melakukan penyelarasan antara SDGs dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM). Peraturan ini mengatur mengenai pembagian tugas dan wewenang dari masing-masing pihak yang terlibat dalam rangka pencapaian SDGs di Indonesia.
Pemerintah memiliki peran yang sangat vital untuk mencapai tujuan yang termuat dalam SDGs. Setiap kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah harus diselaraskan dengan tujuan yang ingin dicapai pada SDGs. Pemerintah sebagai pengendali kebijakan fiskal dapat memanfaatkan kewenangannya tersebut dalam mewujudkan SDGs di Indonesia. Salah satu instrumen kebijakan fiskal yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk mencapai SDGs adalah kebijakan perpajakan.
Pajak sebagai salah satu instrumen kebijakan fiskal yang dimiliki oleh pemerintah memiliki fungsi yang sangat luas. Selain fungsi utama (budgetair) sebagai sumber pendapatan negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah, pajak juga memiliki fungsi pengaturan (reguleren), fungsi stabilitas, dan fungsi redistribusi. Fungsi pajak yang sangat luas ini akan sangat efektif bila dapat dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah untuk menunjang keempat pilar dalam mewujudkan SDGs di Indonesia.
Pilar pertama dalam SDGs adalah pilar pembangunan sosial. Pilar ini memiliki fokus pada tercapaianya pemenuhan hak dasar manusia yang berkualitas secara adil dan setara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terdapat beberapa kebijakan perpajakan yang dapat dimaksimalkan guna mendukung tercapainya pilar pembangunan sosial ini. Pada APBN tahun 2023, pemerintah menganggarkan dana perlindungan sosial sebesar 476 T. Penerimaan perpajakan tentu saja merupakan sumber utama untuk mendanai anggaran perlindungan sosial tersebut. Hal ini sejalan dengan fungsi pajak sebagai sumber pendapatan negara untuk mendukung pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah.
Pajak juga memiliki peran penting dalam mewujudkan masyarakat yang sehat. Peran pajak dalam bidang kesehatan sangat terlihat pada masa pandemi Covid-19 yang lalu. Pemerintah menerbitkan kebijakan pemberian insentif perpajakan terhadap barang-barang yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 yang tertuang dalam PP 29 Tahun 2020. Insentif perpajakan ini bertujuan untuk mempermudah proses pengadaan barang-barang yang diperlukan dalam rangka penanganan Covid-19 sehingga dapat menjaga masyarakat tetap aman dari dampak kesehatan Covid-19.
Pembangunan Ekonomi
Kebijakan perpajakan juga dapat digunakan oleh pemerintah dalam mendorong perkembangan pada bidang pembangunan ekonomi. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah telah menerbitkan beberapa kebijakan insentif perpajakan yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan usaha yang dilakukan oleh masyarakat. Pada masa pandemi, pemerintah menerbitkan insentif untuk WP UMKM melalui fasilitas PPh DTP. Kebijakan ini diterapkan guna menjaga keberlangsungan sektor usaha UMKM yang berkontribusi sebesar 60,5% terhadap PDB Indonesia.
Pemerintah juga memanfaatkan kebijakan perpajakan untuk bisa mendukung pertumbuhan pada sektor-sektor perekonomian tertentu. Seperti ketika masa pandemi, pemerintah menerbitkan PMK nomor 5 Tahun 2022 yang mengatur pemberian insentif PPnBM DTP terhadap kendaraan bermotor tertentu. Insentif perpajakan ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan industri sektor otomotif yang mengalami kontraksi selama masa pandemi Covid-19.
Pajak juga dapat memainkan peran yang sangat penting dalam bidang pembangunan lingkungan. Sejalan dengan tujuan pada SDGs yang tidak hanya berfokus pada ekonomi, melainkan juga berusaha untuk menjaga kelestarian lingkungan, pajak pun dapat digunakan oleh pemerintah untuk mendorong kelestarian dan keberlangsungan lingkungan tempat tinggal kita semua. Salah satu terobosan kebijakan perpajakan untuk mendukung keberlangsungan lingkungan adalah pajak karbon.
Pajak karbon merupakan pajak yang dikenakan terhadap emisi karbon dengan tujuan untuk menekan dampak dari perubahan iklim. Berdasarkan data yang dirilis oleh World Bank per 1 April 2022, sudah terdapat 28 negara yang menerapkan kebijakan pajak karbon, dan khusus untuk kawasan asia, hanya Jepang dan Singapura yang telah menerapkan pajak karbon di negaranya.
Indonesia sebenarnya telah memiliki dasar hukum untuk menerapkan pajak karbon pada Undang-Undang nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Namun penerapan pajak karbon yang pada awalnya direncanakan pada 1 Aprill 2022, diundur menjadi tahun 2025 dengan pertimbangan kondisi perekonomian global dan domestik. Pemerintah harus benar-benar serius dalam mempersiapkan penerapan pajak karbon ini, karena pajak karbon akan bermanfaat untuk mengurangi emisi karbon dari industri serta mendorong pengembangan energi yang lebih ramah lingkungan.
Pembangunan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang merupakan tujuan dari SDGs perlu didukung oleh dasar hukum dan tata kelola pemerintahan yang baik agar dapat terwujud. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan bahwa setiap kebijakan guna mewujudkan SGDs perlu memiliki dasar hukum serta setiap lembaga yang terlibat harus memiliki tata kelola yang baik. Pada pilar ini, pajak berperan sebagai sumber dana pemerintah untuk penyusunan dasar hukum serta kebijakan-kebijakan guna mendorong terwujudkan tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel.
Peran pajak yang sangat luas harus dapat dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah dalam mewujudkan SDGs di Indonesia. Pemerintah harus mampu merumuskan kebijakan perpajakan yang sejalan dengan program pemerintah dalam mencapai SDGs. Kebijakan perpajakan yang tepat akan membantu Indonesia untuk mencapai SDGs pada 2030. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.
sumber berita ini dari bisnisgresik.com